Pencak Silat Bukan Sekadar Ajang Cari Uang: Komersialisasi Event dan Dampaknya pada Sportivitas di Konoha
Belakangan ini, Konoha digemparkan oleh maraknya event pencak silat yang mengklaim diri sebagai wadah pembinaan atlet dan pengembangan prestasi. Namun, di balik kemeriahannya, terselip keprihatinan mendalam. Banyak pihak mulai mempertanyakan esensi sebenarnya dari kegiatan-kegiatan ini. Alih-alih menjadi sarana pengembangan bakat, sebagian besar event justru terjebak dalam praktik komersialisasi yang kental, di mana peserta—terutama anak-anak—hanya dijadikan alat untuk mendulang keuntungan finansial semata.
Semua Mendapat Medali: Prestasi Dibeli, Bukan Diperjuangkan
Salah satu fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah pemberian medali secara masal kepada seluruh peserta, terlepas dari performa mereka di lapangan. Praktik ini secara tidak langsung mengajarkan pesan yang keliru: bahwa prestasi bisa dibeli, bukan diperjuangkan. Padahal, pencak silat sebagai seni bela diri tradisional seharusnya mengajarkan nilai-nilai kejujuran, disiplin, dan sportivitas. Ketika anak-anak terbiasa menerima penghargaan tanpa usaha maksimal, motivasi untuk berkembang secara alami akan tergerus.
Lebih parah lagi, banyak orang tua yang tanpa sadar terjebak dalam euforia "medali instan" ini. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke berbagai event, bukan untuk mengasah kemampuan, melainkan sekadar mengejar simbol prestasi yang sebenarnya kosong. Akibatnya, esensi kompetisi sebagai ajang pengujian kemampuan dan pembentukan karakter atlet pun semakin kabur.
Pemotongan Waktu Pertandingan: Efisiensi atau Akal-Akalan?
Masalah lain yang sering dikeluhkan adalah pemangkasan durasi pertandingan. Idealnya, sebuah pertandingan pencak silat membutuhkan waktu yang cukup untuk mengevaluasi teknik, strategi, dan ketahanan atlet. Namun, dalam beberapa event di Konoha, waktu pertandingan yang seharusnya 1,5 menit dipersingkat menjadi hanya 1 menit—atau bahkan kurang—dengan alasan "efisiensi waktu".
Pertanyaannya, efisiensi untuk siapa? Jika tujuannya benar-benar pembinaan, mengapa justru aspek penilaian kompetisi dikorbankan? Praktik seperti ini lebih mengarah pada upaya penyelenggara untuk menggelar lebih banyak pertandingan dalam waktu singkat, sehingga bisa menarik lebih banyak peserta—dan tentu saja, lebih banyak pendapatan.
Dampak Akademis: Ketika Komersialisasi Merusak Motivasi Atlet
Menurut teori Self-Determination (Deci & Ryan, 1985), motivasi intrinsik atlet akan menurun jika lingkungan kompetisi lebih berfokus pada imbalan eksternal (seperti medali atau piala) daripada pengembangan kemampuan. Artinya, jika anak-anak terus-menerus dijejali dengan event yang mengutamakan kuantitas di atas kualitas, lama-kelamaan mereka akan kehilangan gairah untuk berlatih sungguh-sungguh.
Selain itu, penelitian dalam sport psychology juga menunjukkan bahwa sistem kompetisi yang tidak sehat dapat menciptakan mentalitas "instan" di kalangan atlet muda. Mereka cenderung mengharapkan hasil tanpa proses, dan hal ini berbahaya bagi pembinaan olahraga jangka panjang.
Pencak Silat Bukan Komoditas, Melainkan Warisan Budaya
Pencak silat sejatinya bukan sekadar olahraga bela diri, melainkan juga warisan budaya yang mengandung filosofi mendalam tentang kehormatan, ketekunan, dan keadilan. Jika event-event yang ada hanya menjadikannya sebagai ladang bisnis semata, maka lambat laun nilai-nilai luhur ini akan tergerus oleh kepentingan komersial.
Sudah saatnya semua pihak—mulai dari pelatih, orang tua, hingga pemerintah—lebih kritis dalam memilih event yang benar-benar mendukung perkembangan atlet. Jangan sampai anak-anak kita menjadi korban dari sistem yang lebih mementingkan profit di atas sportivitas.
Penulis: Jiraiya the Analyst
Sebagai pelatih bersertifikasi yang menghabiskan waktu di perpustakaan seperti halnya di dojo, saya melihat pencak silat bukan sekadar gerakan - ia adalah filosofi hidup yang sedang terancam komersialisasi.
Referensi:
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic Motivation and Self-Determination in Human Behavior. Plenum Press.