Oleh Raiina Disma Prana
Pelatih Muda III Pencak Silat Provinsi Jawa Barat
Level 1 – International Universities Strength and Conditioning Association (IUSCA), UK
Pelatih Strength & Conditioning – Gempur Sport Club
Fenomena anak-anak yang mulai berlatih olahraga secara intensif sejak usia dini kian marak, terutama di kalangan orang tua yang memiliki ambisi besar agar anaknya menjadi atlet profesional. Namun, di balik semangat tersebut, tersembunyi risiko besar yang kerap diabaikan: cedera berulang (overuse injury) dan overtraining syndrome. Kedua kondisi ini tidak hanya menghambat perkembangan fisik anak, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan mental dan motivasi jangka panjang mereka dalam berolahraga.
Seringkali terjadi kekeliruan dalam membina atlet muda: memperlakukan mereka seperti atlet dewasa dalam hal porsi latihan, intensitas, hingga tekanan kompetisi. Padahal, anak-anak masih berada dalam masa pertumbuhan, baik secara fisik maupun psikis. Struktur tulang, otot, dan sistem metabolik mereka belum matang dan sangat rentan terhadap beban latihan berlebih.
Beberapa studi menyebutkan bahwa fase pertumbuhan pesat—terutama saat masa pubertas—adalah masa paling rentan terjadi cedera akibat latihan intensif yang tidak terkontrol.
“Cedera penggunaan berlebihan pada atlet muda paling sering terjadi selama lonjakan pertumbuhan.”
– Standaert, CJ. PM&R Clinics of North America, 2010
Overtraining syndrome terjadi ketika frekuensi, intensitas, dan volume latihan melebihi kemampuan tubuh anak untuk pulih. Tanda-tandanya antara lain:
Penurunan performa meski latihan ditingkatkan
Gangguan tidur dan mood
Nyeri otot dan sendi berkepanjangan
Kehilangan minat terhadap latihan
Kelelahan kronis dan sering sakit
Studi oleh Jayanthi et al. (2015) mengungkap bahwa anak-anak yang mengikuti pelatihan olahraga tunggal (spesialisasi olahraga) secara intensif memiliki risiko lebih tinggi mengalami cedera, khususnya cedera karena overuse. Risiko ini meningkat jika total jam latihan per minggu melebihi usia anak (misalnya usia 10 tahun, latihan lebih dari 10 jam/minggu).
Latihan fisik untuk atlet muda seharusnya fokus pada pengembangan fundamental movement skills (FMS) seperti keseimbangan, koordinasi, kekuatan dasar, kelincahan, dan fleksibilitas. Semua ini dapat diajarkan lewat pendekatan yang menyenangkan, eksploratif, dan berbasis permainan.
Menurut Behm et al. (2008), latihan kekuatan (resistance training) yang dilakukan secara aman dan terstruktur dapat memberikan banyak manfaat, seperti:
Meningkatkan kekuatan dan kepadatan tulang
Menurunkan risiko cedera olahraga
Meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi anak untuk aktif secara fisik
“Latihan beban tidak hanya aman untuk anak-anak, tetapi penting untuk mencegah cedera dan mendukung perkembangan fisik.”
– Canadian Society for Exercise Physiology, 2008
Model Long-Term Athlete Development (LTAD) dari Kanada menawarkan kerangka pembinaan atlet jangka panjang berbasis usia biologis, psikologis, dan perkembangan motorik. Berikut 7 tahap LTAD:
Active Start (0–6 tahun)
Eksplorasi gerak dasar tanpa tekanan kompetisi.
FUNdamentals (L: 6–9 / P: 6–8)
Pengenalan olahraga melalui kesenangan dan koordinasi.
Learning to Train (L: 9–12 / P: 8–11)
Belajar keterampilan teknik dasar.
Training to Train (L: 12–16 / P: 11–15)
Pengembangan fisik dan awal spesialisasi.
Training to Compete (L: 16–23+ / P: 15–21+)
Fokus pada performa kompetitif.
Training to Win (L: 19+ / P: 18+)
Latihan puncak menuju performa elite.
Active for Life
Menjadikan olahraga bagian dari gaya hidup sehat jangka panjang.
Di lapangan, masih banyak anak-anak yang dipaksa mengikuti kompetisi sebelum fondasi fisik dan mental mereka siap. Mereka melewati fase LTAD terlalu cepat demi mengejar prestasi jangka pendek. Dampaknya:
Kehilangan kesenangan berolahraga
Teknik dasar yang buruk
Cedera jangka panjang
Tidak mencapai potensi maksimal
Burnout dan berhenti berolahraga dini
Sebagai pelatih dan praktisi sport science, saya menyaksikan langsung tren memprihatinkan: anak-anak dilatih secara berlebihan hanya demi ambisi pribadi orang tua atau pelatih. Latihan 2–3 sesi sehari tanpa memperhitungkan waktu pemulihan, partisipasi kompetisi beruntun, hingga tekanan untuk menang sejak usia dini — ini bukan pembinaan, tetapi eksploitasi.
“Anak-anak harus diberi ruang untuk bermain, belajar, dan tumbuh. Keputusan menjadi atlet elite seharusnya datang dari keinginan dan kesadaran mereka sendiri.”
Pembangunan atlet muda yang sehat dan berkelanjutan hanya dapat tercapai melalui pendekatan ilmiah, bertahap, dan manusiawi. Tujuan kita bukan sekadar mencetak juara, tetapi menciptakan generasi muda yang kuat secara fisik, tangguh secara mental, dan mencintai olahraga sepanjang hidup.
Sebagai pelatih, tugas kita bukan sekadar memenangkan pertandingan hari ini, tetapi menyalakan semangat yang akan bertahan selamanya.
Jayanthi NA, et al. (2015). Sports-specialized intensive training and the risk of injury in young athletes: a clinical case-control study. Am J Sports Med. DOI: 10.1177/0363546514567298
Myers AM, Beam NW, Fakhoury JD. (2017). Resistance training for children and adolescents. Translational Pediatrics, 6(3), 137–143.
Standaert CJ. (2010). Overuse injuries in young athletes: prevention and treatment. PM&R Clinics of North America.
Behm DG, et al. (2008). Resistance training in children and adolescents: CSEP Position Stand. Canadian Society for Exercise Physiology.
Brenner JS. (2016). Overuse Injuries, Overtraining, and Burnout in Child and Adolescent Athletes. Pediatrics.
Bergeron MF, et al. (2015). Youth sports specialization: facts and myths. Current Sports Medicine Reports.